Dari “China” ke “Tionghoa”: Silsilah Perubahan Nama yang Sarat Makna di Indonesia

Penggunaan istilah “Tionghoa” untuk merujuk pada orang-orang keturunan Tiongkok di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sarat makna sosiopolitik. Pergeseran dari penyebutan “China” menuju “Tionghoa” bukanlah sekadar perubahan linguistik, melainkan cerminan dari dinamika identitas, integrasi, dan perjuangan pengakuan di Tanah Air.

Pada masa kolonial Hindia Belanda, istilah yang umum digunakan adalah “Chinees” (bahasa Belanda) atau “Cina” (adaptasi Melayu). Istilah ini awalnya tidak selalu berkonotasi negatif. Namun, seiring waktu dan berbagai kebijakan diskriminatif, kata “Cina” mulai diasosiasikan dengan stereotip dan prasangka negatif.

Perkembangan organisasi-organisasi etnis Tionghoa di awal abad ke-20 menjadi titik balik penting. Salah satu organisasi pelopor, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang didirikan pada tahun 1900, secara aktif menggunakan istilah “Tiong Hoa” yang berasal dari dialek Hokkian, berarti “Komunitas Tiongkok” atau “Perhimpunan Tiongkok”. Penggunaan istilah ini menjadi upaya awal komunitas untuk mendefinisikan diri mereka dengan identitas yang lebih bermartabat.

Setelah kemerdekaan Indonesia, penggunaan istilah “Cina” masih dominan dalam wacana publik dan kebijakan pemerintah. Namun, sentimen negatif terhadap istilah ini terus tumbuh di kalangan masyarakat keturunan Tiongkok yang merasa terdiskriminasi.

Era Reformasi menjadi momentum penting bagi perubahan ini. Seiring dengan semangat inklusivitas dan penghapusan diskriminasi, muncul kesadaran akan pentingnya penggunaan istilah yang lebih netral dan menghargai. Kalangan intelektual, aktivis, dan organisasi Tionghoa gencar mengkampanyekan penggunaan “Tionghoa”.

Puncaknya, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 yang mewajibkan penggunaan istilah “Cina”. Meskipun Keppres ini secara spesifik mengatur penggantian penyebutan negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat China, implikasinya meluas pada penggunaan istilah untuk etnis Tionghoa di Indonesia.

Dengan demikian, penggantian nama dari “China” menjadi “Tionghoa” di Indonesia adalah sebuah proses evolutif yang mencerminkan perjuangan panjang untuk pengakuan identitas dan integrasi yang setara. Istilah “Tionghoa” kini lebih diterima sebagai sebutan yang menghormati warisan budaya dan kontribusi signifikan komunitas ini dalam sejarah dan pembangunan bangsa Indonesia.